Menipu dengan Penelitian dan Statistik
Ibu-ibu di sebuah kota besar menjadi was-was setelah ada hasil penelitian menyebutkan bahwa 2 dari 3 lelaki pernah selingkuh. Jumlah penumpang kereta api di sebuah daerah menurun drastis setelah ada tulisan dikoran bahwa dalam setahun terakhir ada 180 kecelakaan kereta api, yang artinya hampir tiap dua hari ada kecelakaan di atas rel.
Banyak wanita berbondong-bondong membeli sebuah produk shampo setelah
ada hasil penelitian dalam sebuah majalah menyebutkan bahwa 4 dari 5
wanita sampelnya mengaku bahwa shampo tersebut mampu mencegah rambut
rontok. Beberapa fenomena yang saya sebutkan di atas sekiranya dapat
memberikan gambaran bahwa penggunaan statistik bisa memberikan dampak
persuasif yang cukup signifikan. Statistik di tangan yang salah bisa
dimanfaatkan untuk menggiring opini yang berakhir pada perubahan sikap
para pembacanya sesuai kehendak si penulis. Bahkan tidak jarang,
penggunaan statistik memang ditujukan untuk meningkatkan nilai sebuah
iklan, penjualan surat kabar, menebar sensasi, dan bukan untuk tujuan
mencari fakta.
Lanjutkan dengan contoh kasus: Berita di surat kabar menghebohkan warga dengan headline nya yang bertuliskan : “Tahun ini kecelakaan KA terjadi hampir tiap 2 hari!”. Faktanya memang mungkin mendukung jika jumlah total kecelakaan KA mencapai 180 an dalam setahun terakhir. Tapi apakah penggunaan data statistik tersebut untuk menarik sebuah kesimpulan sudah tepat? Tidak. Nominator jumlah kecelakan KA seharusnya tidak disandingkan dengan denominator jumlah hari dalam setahun, tapi dengan total jarak tempuh KA atau dengan durasi operasi KA yang bersangkutan. Wajarlah jika dari mayoritas KA yang beroperasi adalah KA lama, maka kemungkinan ia mengalami kerusakan dan kecelakaan sangatlah tinggi. Time frame yang diambil juga kurang tepat. Durasi operasi KA rata-rata puluhan tahun, seandainya ia mengalami kecelakaan karena kerusakan seharusnya kesimpulan yang ditarik melingkupi keseluruhan umur KA, bukan di setahun terakhir.
Kasus Kedua: Hasil survei sebuah majalah sains populer di Amerika menyebutkan bahwa para pembacanya rata-rata adalah orang-orang yang cerdas, hal ini terbukti bahwa 80% di antaranya mampu menggunakan unit metrik di samping penggunaan unit amerika dalam pengukuran. Cara pengambilan sampel adalah dengan pengisian kuesioner yang ada didalam majalah tersebut. Dengan asumsi perhitungan sampel benar, maka kesimpulan yang ditarik juga tidak salah. Tapi apakah cara pengambilan sampel dengan cara seperti itu tepat? Subyek yang mengerti unit metrik akan mengisi kuesioner dan mengirimkannya kembali ke redaksi, tapi subyek yang tidak mengerti cenderung tidak mau repot-repot mengakui kebodohannya dan mengirimkannya balik ke redaksi bukan? Lebih tepat jika pengambilan sampel langsung dengan cara mendatangi alamat pelanggan dan mewawancarainya langsung serta melakukan serangkaian tes kecil-kecilan.
Kasus ketiga: Hasil studi sebuah lembaga survei di kota A menyebutkan bahwa mayoritas penduduknya adalah warga terdidik, hal ini terbukti dengan tingginya minat penduduk terhadap majalah sains dibandingkan majalah porno. Cara pengambilan sampel dengan cara wawancara langsung baik mendatangi rumah atau via telpon. Cara pengambilan sampel ini pun kurang tepat, saya rasa tidak banyak orang mau mengaku bahwa dirinya berlangganan majalah porno, bukannya lebih bergengsi jika mengaku berlangganan majalah sains atau politik? Kesimpulan yang lebih valid bisa didapat jika survei dilakukan dengan mendatangi agen-agen penjual majalah dan meminta data total penjualannya untuk masing-masing majalah.
Kasus keempat: Sebuah iklan shampo menyebutkan bahwa 4 dari 5 wanita yang menggunakan shampo tersebut mengaku bahwa kerontokan rambutnya berhenti. Jumlah sampel 10 wanita. Tunggu, berapa jumlah sampelnya? 10 orang? Jumlah sampel yang sedemikian saya rasa sangatlah kurang untuk menghindari adanya sampling eror. Jika anda saya minta melempar koin 10 kali, idealnya peluang anda untuk mendapatkan sisi gambar atau angka adalah 50:50, artinya, 5 kali anda mendapat gambar dan 5 kali anda mendapat angka, tapi bukan tidak mungkin jika 8 kali anda mendapatkan gambar atau angka bukan? Namun semakin banyak anda melemparkan koin, maka angka peluang itu makin mendekati 50:50. Itulah namanya sampling eror, efek randomnya tampak nyata ketika jumlah sampel kecil. Bisa jadi bukan shampo nya yang memang mujarab, tapi hanya karena masalah chance saja.
Nah setelah membaca beberapa contoh kasus di atas, kita semua seharusnya memahami bahwa tidak semua penelitian menghasilkan kesimpulan dengan nilai informatif yang tinggi, malah lebih seringnya disalahgunakan. Inilah dampak dari kemajuan era informasi dimana setiap orang memiliki akses untuk segala bentuk informasi termasuk yang menyesatkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap skeptis dan kritis agar bisa memperoleh informasi yang memiliki nilai informatif yang tinggi. Bukan hanya kesimpulan sebuah penelitian yang perlu kita petik tapi keseluruhan prosesnya perlu kita telaah juga sebelum informasi yang ditawarkan asimilasikan ke kerangka pikir kita. Ulasan ini saya tulis untuk membantu para pembaca berpikir kritis terhadap segala bentuk informasi yang menggunakan statistik untuk tujuan manipulatif.
0 komentar:
Posting Komentar