Wellcome to my blog. Disini anda bisa menemukan beberapa sampling fotografi dan juga berbagai artikel

Senin, April 14, 2014

VODOO DAN SANTET: FAKTA ATAU FIKSI?

VODOO DAN SANTET: FAKTA ATAU FIKSI? 

 



Tentu tidak asing bagi telinga Anda mendengar istilah ilmu hitam, voodoo, sihir, atau dalam bentuk yang lebih familiar, santet. Banyak laporan anekdotal yang menyebutkan bahwa ilmu hitam memang benar ada dan telah banyak memakan korban. Sayangnya tidak banyak penelitian dilakukan untuk menguak fakta di balik eksistensi ilmu hitam itu. Tidak heran jika sampai sekarang, terutama dibelahan bumi ini, kematian “tak wajar” yang diklaim karena ilmu hitam tetap dipercaya eksis. Rupanya kepercayaan yang dibentuk akan eksistensi ilmu hitam ini sedemikian kuatnya hingga menepis bukti empiris yang ada di lapangan. Kepercayan yang terbentuk kuat inilah yang pada gilirannya memiliki andil dalam mekanisme kematian akibat ilmu hitam, bukan ilmu hitamnya sendiri. Lantas bagaimana mekanismenya?

Laporan penelitian eksploratif untuk mengungkap fakta di balik kematian ilmu hitam pertama kali dilakukan oleh Walter B. Cannon pada tahun 1942. Ia adalah seorang ahli fisiologi dan orang pertama yang mengenalkan istilah homeostasis dan respons fight-or-flight. Ia mengajukan hipotesis bahwa kematian yang diklaim oleh sebab ilmu hitam, jika memang benar bahwa kematian tersebut eksis menurut laporan orang-orang yang dapat dipercaya, pasti memiliki dasar mekanisme fisiologis dan bukanlah sesuatu yang berbau mistis. Untuk membuktikan hal tersebut Cannon melakukan penelitian terhadap fenomena ilmu hitam di Afrika, kepulauan Pasifik, suku-suku Aborigin Australia, dan Selandia Baru, yang lebih dikenal dengan istilah “Voodoo Death”.

Kematian Voodoo atau Voodoo Death dipercaya terjadi jika seseorang telah dikutuk oleh seorang “ahli pengobatan” di desanya, makan buah-buahan atau berbuat sesuatu yang dianggap najis di tempat-tempat yang disakralkan oleh penduduk setempat. Terdengar familiar?
Cannon menemukan bahwa dari semua kematian itu terdapat setidaknya dua hal yang selalu ada, yaitu pertama faktor pemicu berupa informasi yang diketahui korban bahwa ia telah dikutuk, bisa berupa kutukan langsung yang dilontarkan sang dukun kepadanya atau sekadar pengetahuan bahwa ia telah melanggar sesuatu yang dianggap sakral. Kedua, semua korban menunjukkan gejala panik, ketakutan dan kecemasan yang luar biasa atau gelisah sebelum akhirnya meninggal. Cannon mencoba mengambil hipotesis awal bahwa rasa takut yang luar biasa bisa menyebabkan kematian. Ia tidak menyebutnya sebagai repons stress, sebab kata stress sendiri dan mekanismenya pada saat itu belum ditemukan. Bagaimana ketakutan, kecemasan atau panik bisa menimbulkan kematian?

Dari hasil penelitiannya pada binatang dan manusia, Cannon menemukan bahwa pada saat binatang mengalami ketakutan, otak mengeluarkan neurotransmitter yang memicu pelepasan hormon adrenalin oleh kelenjar adrenal. Hormon ini diketahui menyebabkan peningkatan denyut jantung, kekuatan kotraktilitas jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, membanjiri darah dengan gula dan melebarkan saluran nafas. Secara evolusi hal ini penting, sebab umumnya ketakutan terjadi ketika binatang menghadapi predator, peningkatan tekanan darah, gula darah dan pelebaran jalan nafas sangat penting untuk menyiapkan tubuh binatang untuk lari atau melawan (fight or flight). Cannon menyebut mekanisme aktivasi respons ini sebagai jalur sympathico-adrenal.

Namun ketakutan bisa saja terjadi tanpa harus ada bahaya nyata dari luar. Bahaya yang dipersepsikan sudah cukup untuk mengaktivasi jalur symptahico-adrenal. Baru pada tahun 1956, Hans Selye dari hasil studinya mengenalkan istilah stress dalam General Adaptation Syndrome (GAS) Theory of Stress. Dalam teorinya, ketakutan atau panik dapat digolongkan sebagai keadaan stress akut. Stress akut akan mengaktivasi jalur symptahico-adrenal seperti yang telah disebutkan di atas. Aktivasi berlebihan pada beberapa orang bisa menyebabkan gangguan irama jantung karena stimulus terhadap aktivitas kelistrikan jantung terlalu kuat, pecahnya pembuluh darah oleh sebab peningkatan pembuluh darah yang drastis, atau terlepasnya plak yang bisa menyumbat pembuluh darah oleh akibat kuatnya arus aliran darah. Semua mekanisme ini bisa menyebabkan kematian mendadak karena serangan jantung atau stroke bahkan pada individu sehat yang masih muda. Tidak hanya itu, jika stress yang timbul relatif lemah dan berkepanjangan atau disebut stress kronis dapat menimbulkan berbagai macam keluhan medis, mulai dari psikosomatis sampai penyakit jantung, hipertensi, atau bahkan kanker.

Dari temuan fakta-fakta hasil studi Cannon dan Selye di atas dapat disimpulkan bahwa ketakutan atau kecemasan yang luar biasa memang bisa menimbulkan kematian terlepas dari apakah ketakutan tersebut disebabkan oleh bahaya nyata dari luar atau hanya hasil persepsi. Persepsi akan bahaya imajiner ini bisa dibentuk melalui hasil didikan di masyarakat. Semakin sering otak kita terpapar kebenaran akan bahaya ilmu hitam, maka sirkuit sel syaraf di otak kita semakin terbentuk untuk mempersepsikan bahwa ilmu hitam adalah bahaya yang nyata demikian juga respons yang harus diberikan terhadapnya, stress akut, aktivasi jalur sympathico-adrenal. Pada gilirannya, stress akut bisa menimbulkan kematian. Mungkin mekanisme ini terdengar aneh di telinga Anda, tapi coba bayangkan stress akut oleh sebab lain, maka Anda akan dapat memahaminya dengan mudah. Seberapa sering Anda mendengar orang meninggal terkena serangan jantung setelah mengetahui bahwa usahanya bangkrut?Apakah anda pernah mendengar karena seorang ibu terkena stroke tidak lama setelah tahu anak semata wayangnya meninggal kecelakaan?Anda akan memahami bahwa stress akut memiliki efek yang kuat dan nyata meskipun faktor penginduksinya tidak selalu hal yang nyata.


Sumber:
- Cannon, WB. 1942. “Voodoo” Death. American Anthropologist Vol. 44: p. 169-181.
- Selye, H. 1956. The Stress of Life. McGrawHill: New York, USA.
- Tsigos, C. & Chrousos, GP. 2002. Hypothalamic–Pituitary–Adrenal Axis, Neuroendocrine Factors and Stress. Journal of Psychosomatic Research Vol. 53(4): p. 865-871.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review