VODOO DAN SANTET: FAKTA ATAU FIKSI?
Tentu tidak asing bagi telinga Anda mendengar istilah ilmu hitam, voodoo, sihir, atau dalam bentuk yang lebih familiar,
santet. Banyak laporan anekdotal yang menyebutkan bahwa ilmu hitam
memang benar ada dan telah banyak memakan korban. Sayangnya tidak banyak
penelitian dilakukan untuk menguak fakta di balik eksistensi ilmu hitam
itu. Tidak heran jika sampai sekarang, terutama dibelahan bumi ini,
kematian “tak wajar” yang diklaim karena ilmu hitam tetap dipercaya
eksis. Rupanya kepercayaan yang dibentuk akan eksistensi ilmu hitam ini
sedemikian kuatnya hingga menepis bukti empiris yang ada di lapangan.
Kepercayan yang terbentuk kuat inilah yang pada gilirannya memiliki
andil dalam mekanisme kematian akibat ilmu hitam, bukan ilmu hitamnya
sendiri. Lantas bagaimana mekanismenya?
Laporan penelitian eksploratif untuk mengungkap fakta di balik kematian ilmu hitam pertama kali dilakukan oleh Walter B. Cannon pada tahun 1942. Ia adalah seorang ahli fisiologi dan orang pertama yang mengenalkan istilah homeostasis dan respons fight-or-flight.
Ia mengajukan hipotesis bahwa kematian yang diklaim oleh sebab ilmu
hitam, jika memang benar bahwa kematian tersebut eksis menurut laporan
orang-orang yang dapat dipercaya, pasti memiliki dasar mekanisme
fisiologis dan bukanlah sesuatu yang berbau mistis. Untuk membuktikan
hal tersebut Cannon melakukan penelitian terhadap fenomena ilmu hitam di
Afrika, kepulauan Pasifik, suku-suku Aborigin Australia, dan Selandia
Baru, yang lebih dikenal dengan istilah “Voodoo Death”.
Kematian Voodoo atau
Voodoo Death dipercaya terjadi jika seseorang telah dikutuk oleh seorang
“ahli pengobatan” di desanya, makan buah-buahan atau berbuat sesuatu
yang dianggap najis di tempat-tempat yang disakralkan oleh penduduk
setempat. Terdengar familiar?
Cannon menemukan
bahwa dari semua kematian itu terdapat setidaknya dua hal yang selalu
ada, yaitu pertama faktor pemicu berupa informasi yang diketahui korban
bahwa ia telah dikutuk, bisa berupa kutukan langsung yang dilontarkan
sang dukun kepadanya atau sekadar pengetahuan bahwa ia telah melanggar
sesuatu yang dianggap sakral. Kedua, semua korban menunjukkan gejala
panik, ketakutan dan kecemasan yang luar
biasa atau gelisah sebelum akhirnya meninggal. Cannon mencoba mengambil
hipotesis awal bahwa rasa takut yang luar biasa bisa menyebabkan
kematian. Ia tidak menyebutnya sebagai repons stress,
sebab kata stress sendiri dan mekanismenya pada saat itu belum
ditemukan. Bagaimana ketakutan, kecemasan atau panik bisa menimbulkan
kematian?
Dari hasil penelitiannya pada binatang dan manusia, Cannon menemukan bahwa pada saat binatang mengalami ketakutan, otak mengeluarkan neurotransmitter yang memicu pelepasan hormon adrenalin oleh kelenjar adrenal. Hormon ini diketahui menyebabkan peningkatan denyut jantung, kekuatan kotraktilitas jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, membanjiri darah dengan gula dan melebarkan saluran nafas. Secara evolusi hal ini penting, sebab umumnya ketakutan terjadi ketika binatang menghadapi predator, peningkatan tekanan darah, gula darah dan pelebaran jalan nafas sangat penting untuk menyiapkan tubuh binatang untuk lari atau melawan (fight or flight). Cannon menyebut mekanisme aktivasi respons ini sebagai jalur sympathico-adrenal.
Namun ketakutan bisa
saja terjadi tanpa harus ada bahaya nyata dari luar. Bahaya yang
dipersepsikan sudah cukup untuk mengaktivasi jalur symptahico-adrenal.
Baru pada tahun 1956, Hans Selye dari hasil studinya mengenalkan istilah
stress dalam General Adaptation Syndrome (GAS) Theory of Stress. Dalam
teorinya, ketakutan atau panik dapat digolongkan sebagai keadaan stress
akut. Stress akut akan mengaktivasi jalur symptahico-adrenal seperti
yang telah disebutkan di atas. Aktivasi berlebihan pada beberapa orang
bisa menyebabkan gangguan irama jantung karena stimulus terhadap
aktivitas kelistrikan jantung terlalu kuat, pecahnya pembuluh darah oleh
sebab peningkatan pembuluh darah yang drastis, atau terlepasnya plak
yang bisa menyumbat pembuluh darah oleh akibat kuatnya arus aliran
darah. Semua mekanisme ini bisa menyebabkan kematian mendadak karena
serangan jantung atau stroke bahkan pada individu sehat yang masih muda.
Tidak hanya itu, jika stress yang timbul relatif lemah dan
berkepanjangan atau disebut stress kronis dapat menimbulkan berbagai
macam keluhan medis, mulai dari psikosomatis sampai penyakit jantung,
hipertensi, atau bahkan kanker.
Dari temuan
fakta-fakta hasil studi Cannon dan Selye di atas dapat disimpulkan bahwa
ketakutan atau kecemasan yang luar biasa memang bisa menimbulkan
kematian terlepas dari apakah ketakutan tersebut disebabkan oleh bahaya
nyata dari luar atau hanya hasil persepsi. Persepsi akan bahaya imajiner
ini bisa dibentuk melalui hasil didikan di masyarakat. Semakin sering
otak kita terpapar kebenaran akan bahaya ilmu hitam, maka sirkuit sel
syaraf di otak kita semakin terbentuk untuk mempersepsikan bahwa ilmu
hitam adalah bahaya yang nyata demikian juga respons yang harus
diberikan terhadapnya, stress akut, aktivasi jalur sympathico-adrenal.
Pada gilirannya, stress akut bisa menimbulkan kematian. Mungkin
mekanisme ini terdengar aneh di telinga Anda, tapi coba bayangkan stress
akut oleh sebab lain, maka Anda akan dapat memahaminya dengan mudah.
Seberapa sering Anda mendengar orang meninggal terkena serangan jantung
setelah mengetahui bahwa usahanya bangkrut?Apakah anda pernah mendengar
karena seorang ibu terkena stroke tidak lama setelah tahu anak semata
wayangnya meninggal kecelakaan?Anda akan memahami bahwa stress akut
memiliki efek yang kuat dan nyata meskipun faktor penginduksinya tidak
selalu hal yang nyata.
Sumber:
- Cannon, WB. 1942. “Voodoo” Death. American Anthropologist Vol. 44: p. 169-181.
- Selye, H. 1956. The Stress of Life. McGrawHill: New York, USA.
- Tsigos, C. & Chrousos, GP. 2002. Hypothalamic–Pituitary–Adrenal Axis, Neuroendocrine Factors and Stress. Journal of Psychosomatic Research Vol. 53(4): p. 865-871.
- Cannon, WB. 1942. “Voodoo” Death. American Anthropologist Vol. 44: p. 169-181.
- Selye, H. 1956. The Stress of Life. McGrawHill: New York, USA.
- Tsigos, C. & Chrousos, GP. 2002. Hypothalamic–Pituitary–Adrenal Axis, Neuroendocrine Factors and Stress. Journal of Psychosomatic Research Vol. 53(4): p. 865-871.
0 komentar:
Posting Komentar